Masyarakat Rembang saat ini telah mengalami perubahan dalam
memaknai tanah. Jika dahulu tanah memiliki nilai tawar lebih rendah dibanding
manusia dan kerja. Namun sekarang tidak, tanah mampu melakukan lompatan
besar-besaran dalam nilai tawar.
Tanah Rembang, khususnya tanah pegunungan yang memuat
kandungan trass (dll) sebagai bahan baku semen (dll), saat ini menjadi idola
investor. Padahal sebelumnya, tanah gunung tidak banyak yang melirik. Gunung hanya
difungsikan untuk areal pertanian, lumbung pakan ternak, ketahanan air serta
oksigen sebagai sumber hidup, dan sedikit sebagai wahana rekreasi.
Lompatan cara pandang tentang makna tanah yang cenderung kuat
dalam aras feodalistik ini, berlahan ber-aroma khas kapitalistik. Lompatan cara
pandang ini beriringan dengan lahirnya “Orang Kaya Baru” di Rembang yang
memiliki tanah gunung trass. Mereka yang
terbukti memiliki surat sppt tanah gunung, dilegalkan menjual kepada perusahaan
semen. Dalam sekejab, beberapa pemilik tanah gunung meraup rupiah yang melampau
batas.
Secara hak dan kewajiban, tampak terdapat ketidak-adilan
dalam masyarakat Rembang. Hal ini dapat dilihat pemilik tanah gunung yang
memiliki tagihan wajib pajak yang tertera pada sppt lebih rendah, malah
memiliki hak jual tanah lebih tinggi. Sedangkan tanah non-gunung yang memiliki
nilai sppt wajib pajak tinggi, tidak pernah mampu mengejar nilai tawar tanah
gunung.
Beda besaran wajib pajak ini, mungkin tanah gunung lebih difokuskan
fungsi dalam hal areal pertanian, lumbung pakan ternak, dan ketahanan air serta
oksigen sebagai sumber hidup. Bukan sebaliknya, tanah gunung yang memiliki
nilai komoditi tanpa batas. Tampaknya terdapat etika salah dalam hal ini.
Fenomena perubahan makna tanah gunung di atas, tentu saja
melanggar keadilan akan kemakmuran sosial masyarakat Rembang. Bagaimana tidak,
sama-sama memiliki sepetak tanah (misal yang satu memiliki tanah gunung dan
yang satu memiliki tanah sawah bukan gunung), dengan harga beli pada awalnya
yang relatif sama, namun memiliki perbedaan yang terlampau batas dalam
peralihan hak kepemilikannya (jual).
Dalam perspektif keadilan kemakmuran sosial, fenomena di atas
jelas-jelas tidak adil sekaligus tidak rasional. Bagaimana tidak, mereka
pemilik sppt tanah gunung yang tidak melakukan kegiatan produksi di atas tanah
gunung, meraup uang terlampau batas. Sedangkan yang melakukan kegiatan produksi
di atas tanah (misal sawah), harus membayar biaya produksi tinggi untuk melawan
biaya bibit, obat kendali hama, hingga permainan harga komoditi panen.
Tanah merupakan aset utama pembangunan. Selayaknya tanah
tidak dijadikan sebagai komoditi. Jika tanah dijadikan komoditi, tentu saja
tatanan sosial (desa) tidak akan mendiri. Desa (tanah) akan terkooptasi dengan
ukuran materi (kapitalis). Terlebih nilai tukar tanah gunung yang mempengaruhi
naiknya nilai tawar harga tanah non-gunung, yang terjadi adalah merendahkan
harkat dan martabat manusia beserta nilai suatu kerja. Dan ketika masyarakat
(lokal) tidak mampu bertransaksi dengan tanah di sekitarnya, yang terjadi
adalah menjadi kuli di negeri sendiri. Bukankah hal demikian adalah rencana yang
tidak mungkin kita harapkankah? Namun kenapa terjadi?
Lantas bagaimana menyikapi perubahan makna tanah gunung yang
terlampau batas ini? Bagaimana perlakukan suatu tanah yang nilai tukarnya
terlanjur terlampau batas? Dan bagaimana memperlakukan tanah yang nilai
tukarnya belum atau sedang berproses melampau batas?
Kembalikan nilai-nilai kearifan sosial pada tanah menjadi
penting, baik secara etika sosial maupun etika lingkungan hidup. Menandaskan
etika sosial adalah memaknai tanah sebagai faktor produksi saja, bukan sebagai
objek perniagaan. Selanjutnya menandaskan etika lingkungan hidup adalah
memaknai tanah untuk sumber hidup dengan tersedianya air dan oksigen.
Lantas bagaimana yang sudah terlanjur? Jika tanah gunung
tersebut sudah terlanjur di jual dengan harga terlampau batas, maka kelebihan
harga yang terlampau batas itu harus dikembalikan kepada hak komunal. Secara
teknis, hak komunal ini, pengelolaannya dapat diwakilkan oleh lembaga sosial
formal.
Apakah mereka yang telah mendapatkan uang terlampau batas itu
dapat menerima, jika uangnya harus diminta oleh pihak komunalitas? Jika mereka
tidak mau memberikan uang yang terlampau batas itu, maka mereka harus
berkewajiban membayar biaya sosial (pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik,
seni, informasi, teknologi, dll) yang terlampau batas pula. Termasuk
terancamnya ketahanan air dan oksigen untuk sumber kehidupan masyarakat Rembang
selayaknya harus dibayar oleh mereka.
Lantas bagaimana mereka yang belum terlanjur dan masih
proses? Jika pemilik sppt tanah gunung belum terlanjur dan masih proses dalam
transaksinya, pilihan terbaik adalah mengembalikan fungsi tanah sebagai aset
utama produksi.
Masyarakat Rembang belum siap melompat sebagai masyarakat
industri. Memfungsikan tanah (gunung) untuk pertanian, lumbung pakan ternak,
dan ketahanan air serta oksigen sebagai sumber hidup, dan wahana rekreasi, tentu
akan lebih menghargai martabat manusia dan kerja masyarakat Rembang dalam
rangka mewujudkan keadilan dalam kemakmuran sosial masyarakat Rembang.
Melanjutkan tradisi agung sebagai masyarakat bahari dan
masyarakat hutan, masyarakat Rembang lebih siap, dibanding melakukan lompatan
yang melampau batas dalam hal harga tanah.
Belum ada tanggapan untuk "Perubahan Makna Tanah yang Melampaui Batas"
Post a Comment